Sungai Penuh, iNBrita.com — Warga Kota Sungai Penuh menilai sebagian pejabat di lingkungan Pemerintah Kota kehilangan rasa tanggung jawab dan budaya malu dalam menjalankan tugasnya.
Junaidi, warga Sungai Penuh, menegaskan bahwa jabatan publik bukan simbol kehormatan, melainkan amanah yang harus dijaga dengan kerja dan dedikasi. Namun, menurutnya, sebagian pejabat justru memperlakukan jabatan sebagai ajang pencitraan diri.
“Jabatan itu bukan gaya-gayaan. Pejabat seharusnya melayani, bukan minta dilayani. Kalau tidak mampu bekerja, mundur saja , itu jauh lebih terhormat,” tegasnya, Sabtu (25/10).
Menurut Junaidi, banyak pejabat eselon belum memahami tugas pokok dan fungsi mereka. Akibatnya, berbagai program pemerintah berjalan di tempat dan tidak memberi hasil nyata bagi masyarakat.
“Kita lihat sendiri, banyak yang sibuk membangun citra, bukan menyelesaikan persoalan. Akibatnya, proyek tertunda dan pelayanan publik stagnan,” ujarnya.
Selain itu, ia menilai kemampuan sebagian pejabat jauh dari standar profesional. Karena itu, wajar jika kinerja pemerintah tidak sejalan dengan visi kepala daerah.
Junaidi menilai lemahnya kapasitas pejabat membuat langkah Wali Kota sulit berlari cepat. Padahal, pembangunan daerah membutuhkan aparatur yang mampu bergerak serempak dan memahami tanggung jawabnya.
“Kalau pejabatnya tidak bergerak, bagaimana kota ini mau maju? Pemimpin tidak bisa berlari cepat kalau timnya lamban,” katanya.
Sementara itu, ia menilai budaya kerja yang lemah menciptakan efek domino pada pelayanan publik. Oleh karena itu, perubahan sikap aparatur menjadi keharusan, bukan pilihan.
Junaidi menegaskan pentingnya menumbuhkan budaya malu di kalangan pejabat publik. Ia mencontohkan budaya di Jepang, di mana pejabat yang gagal menjalankan tugas akan mengundurkan diri tanpa menunggu tekanan publik.
“Budaya malu itu cermin integritas. Di Jepang, kalau gagal, mereka mundur dengan hormat. Di sini, banyak yang gagal tapi justru bangga dengan jabatannya,” katanya dengan nada prihatin.
Selain itu, ia menilai kejujuran terhadap diri sendiri merupakan bentuk tanggung jawab moral tertinggi bagi setiap pejabat. Dengan begitu, masyarakat dapat kembali mempercayai pemerintah.
Menurut Junaidi, Wali Kota perlu bersikap tegas terhadap pejabat yang tidak mampu menunjukkan kinerja optimal. Kepemimpinan yang kuat, katanya, hanya terbentuk bila pemimpin berani mengambil keputusan sulit.
“Wali Kota jangan ragu. Ganti saja pejabat yang malas dan tidak punya etos kerja. Kalau tidak, reformasi birokrasi hanya akan menjadi slogan,” tegasnya.
Di sisi lain, ia percaya bahwa ketegasan pemimpin akan menumbuhkan efek jera dan menciptakan budaya kerja yang lebih sehat.
Pada akhir pernyataannya, Junaidi menegaskan bahwa pejabat yang berani mengakui ketidakmampuannya dan memilih mundur dengan terhormat justru layak dihargai.
“Mundur bukan berarti kalah, tapi menunjukkan jiwa ksatria. Kota Sungai Penuh butuh pejabat yang bekerja dengan hati, bukan yang hanya duduk di kursi jabatan tanpa karya,” tutupnya.

 
 












