Untuk memperingati Hari Epilepsi Sedunia, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) meningkatkan kesadaran tentang epilepsi, gangguan neurologis umum yang dapat menyerang siapa saja, pada usia berapa pun.
Diperkirakan 4,7 juta orang penderita epilepsi tinggal di Kawasan Mediterania Timur. Penyakit ini termasuk dalam 3 gangguan neurologis yang paling sering ditemui di fasilitas perawatan kesehatan primer di 20 dari 22 negara dan teritori di Kawasan tersebut.
Meskipun prevalensinya tinggi, hambatan terhadap perawatan dan pemahaman masih tetap ada, khususnya di negara berpendapatan rendah dan menengah serta dalam situasi darurat.
Epilepsi ditandai dengan kejang berulang yang terjadi akibat pelepasan muatan listrik yang berlebihan pada sekelompok sel otak. Kejang bervariasi dalam durasi, tingkat keparahan, dan frekuensinya, tergantung pada bagian otak mana gangguan tersebut bermula dan seberapa jauh penyebarannya. Gejalanya dapat meliputi perubahan sensasi (seperti perubahan penglihatan, pendengaran, dan pengecapan), inkontinensia, lidah tergigit dan cedera lainnya, kebingungan yang tidak dapat dijelaskan, mengantuk, lemas, kehilangan kesadaran, dan gerakan lengan, kaki, atau seluruh tubuh yang tiba-tiba dan tidak terkendali.
Sebagian besar penyebab epilepsi simptomatik dapat dicegah dan diobati. Obat antiepilepsi modern efektif dan relatif murah. Pada 70% orang, epilepsi dapat dikendalikan sepenuhnya dengan obat antiepilepsi.
Meskipun epilepsi memengaruhi jutaan orang di seluruh dunia, stigma tetap menjadi tantangan besar. Di banyak masyarakat, orang yang hidup dengan epilepsi menghadapi diskriminasi, pengucilan sosial, dan pelanggaran hak asasi manusia. Mereka sering kali ditolak aksesnya terhadap pendidikan dan pekerjaan, yang merusak martabat dasar manusia dan memperburuk dampak fisik, emosional, dan psikologis dari penyakit tersebut. Perempuan dan anak perempuan dengan epilepsi menghadapi risiko yang lebih tinggi. Mereka mungkin mengalami diskriminasi sosial dan kekerasan berbasis gender tambahan.(Eni Syamsir)