Jakarta, iNBrita.com – Pagi itu, di ruang tunggu Bandara Soekarno-Hatta, Fatimah menggenggam paspornya erat. Perempuan 52 tahun asal Jakarta itu bersiap menunaikan umrah untuk keempat kalinya, selalu bersama biro resmi.
Seragam biru laut yang ia kenakan memantulkan cahaya lampu bandara. Ia tampak tenang—semua urusan sudah beres. Visa, hotel, dan bimbingan ibadah telah diurus penyelenggara. Kini hanya tinggal doa dan langkah menuju Tanah Suci.
Berbeda dengan Rizal, 30 tahun, di Bandung. Ia menatap layar ponselnya malam itu, menelusuri aplikasi Nusuk, platform resmi Arab Saudi yang memungkinkan jemaah mengurus umrah secara mandiri.
Rizal belum memutuskan berangkat. Ia ingin mencoba hal baru, tapi masih ragu. “Kalau niatnya baik, semoga dimudahkan,” ucapnya pelan.
Fatimah dan Rizal mewakili dua wajah jemaah Indonesia hari ini. Mereka berada di tengah perubahan besar setelah UU Nomor 14 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah disahkan.
Aturan Baru dan Ruang Kosong
UU baru membuka jalan bagi masyarakat untuk berangkat tanpa biro resmi. Pemerintah menyebut langkah ini sebagai adaptasi terhadap kebijakan Arab Saudi yang makin terbuka serta dorongan digitalisasi pelayanan ibadah.
Namun, aturan turunannya belum terbit. Petunjuk teknis dan mekanisme pelaksanaan masih disusun. Pelaku usaha, asosiasi, dan parlemen mendesak pemerintah segera menerbitkannya agar semangat kemandirian tidak berubah menjadi kebingungan.
Mereka berharap aturan itu tidak hanya mengatur sistem digital, tapi juga menjamin perlindungan jemaah serta menjaga keberlanjutan usaha yang selama ini menopang ekonomi umat.
Gelombang Jemaah dan Selisih Biaya
Sepanjang 2024, 1,8 juta warga Indonesia menunaikan umrah. Sekitar 1,43 juta melalui Sistem Siskopatuh, sementara 300–400 ribu orang berangkat lewat jalur non-PPIU.
Antusiasme masyarakat tinggi, tetapi celah masalah juga muncul.
Jemaah biro resmi membayar Rp28–35 juta, dengan layanan penuh mulai visa, hotel, transportasi, hingga bimbingan ibadah.
Sedangkan umrah mandiri lewat Nusuk bisa lebih murah, sekitar Rp22–28 juta, tergantung pilihan hotel dan layanan.
Juru Bicara Kementerian Haji, Ichsan Marsa, menyebut legalisasi umrah mandiri lahir dari kondisi lapangan.
“Negara tidak membatasi, justru ingin melindungi,” ujarnya. Ia menegaskan, jemaah mandiri tetap wajib terdaftar di sistem kementerian agar mendapat perlindungan hukum yang sama.
Kekhawatiran dan Pengawasan
Ketua Asosiasi Pariwisata Umrah Haji, Rizky Sembada, mengingatkan risiko besar bila petunjuk teknis tak segera hadir.
“Kami berharap aturan turunan tetap menjaga ekosistem pengusaha yang telah membantu pemerintah dan membuka lapangan kerja,” ujarnya.
Wakil Menteri Haji, Dahnil Anzar Simanjuntak, menegaskan legalisasi ini bertujuan melindungi jemaah, bukan menyingkirkan biro travel resmi.
Komisi VIII DPR juga meminta sinkronisasi dengan kebijakan Arab Saudi agar pengawasan tidak tumpang tindih.
Lalu siapa bertanggung jawab bila ada jemaah mandiri yang overstay atau bekerja di Arab Saudi?
Pelanggaran visa tetap menjadi wewenang kerajaan. Pelaku dapat didenda, ditahan, atau dideportasi.
Pemerintah Indonesia melalui KBRI hanya bisa memfasilitasi pemulangan, sedangkan tanggung jawab utama tetap pada individu.
Sementara bila biro resmi lalai hingga jemaah terlantar, Kementerian Agama bisa menuntut pertanggungjawaban. Karena itu, registrasi dan pengawasan lintas sistem menjadi kunci agar tak muncul beban repatriasi massal.
Dampak Ekonomi Biro Travel
Belum ada data nasional yang memetakan dampak ekonomi umrah mandiri. Namun, simulasi konservatif menunjukkan, jika 10 persen jemaah pindah, biro bisa kehilangan 143 ribu pelanggan.
Pada skenario 25 persen, potensi kehilangan mencapai 357 ribu jemaah.
Asosiasi menilai, tanpa aturan jelas, kemandirian ini bisa menekan pendapatan industri dan mengancam lapangan kerja umat.
Antara Kemandirian dan Perlindungan
Fatimah tetap memilih berangkat bersama rombongan. Ia merasa tenang karena didampingi pembimbing dan teman sesama jemaah.
Sementara Rizal masih menimbang antara efisiensi digital dan kenyamanan tradisional. Ia ingin membuktikan generasi muda bisa beribadah mandiri, meski dengan tanggung jawab lebih besar.
Kemandirian seharusnya tak berhenti di konsep. Pemerintah perlu menurunkan niat baik itu menjadi aturan yang melindungi, bukan membiarkan.
Di balik semangat efisiensi dan teknologi, ribuan jemaah masih membutuhkan bimbingan dan kepastian.
Kekhawatiran pelaku usaha, potensi pelanggaran visa, hingga risiko hilangnya kepercayaan publik adalah peringatan yang harus direspons cepat.
Negara mesti hadir bukan hanya di awal kebijakan, tapi juga di setiap langkah pelaksanaannya.
Agar kemandirian benar-benar membawa kemuliaan, bukan meninggalkan luka di belakangnya.
(VVR*)













